Selasa, 20 November 2012

Istiqro’ Ma’nawi Untuk Menentukan Hukum



Ustadz Irfan dalam kuliah Manhaj Tarjih Muhammadiyah menyampaikan tentang bagaimana metode dalam memutuskan hukum atas sesuatu. Muhammadiyah dalam hal ini menggunakan metode Istiqro’ Ma’nawi, atau dengan kata lain adalah induksi. Istilah induksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah metode pemikiran yang bertolak dari kaidah (hal-hal atau peristiwa) khusus untuk menentukan hukum (kaidah) yang umum atau dengan kalimat lain, induksi berarti penarikan kesimpulan berdasarkan keadaan yang khusus untuk diperlakukan secara umum.

Sebagai contoh, misalnya bahasan tentang patung. Untuk menentukan patung diperbolehkan atau sebaliknya (dilarang), maka harus ada kajian komprehensif yang harus dilakukan.

Pada zaman Nabi Ibrahim AS, beliau menghancurkan patung-patung yang berada di dalam Ka’bah. Fungsi patung kala itu adalah sebagai berhala, sesembahan rakyat Raja Namrud. Berhala dianggap sebagai Tuhan yang dapat membantu mereka, mengabulkan doa mereka, serta memberi harta kepada mereka, dan lain sebagainya.

Berbeda kondisinya saat zaman Nabi Sulaiman AS. Dalam surat As Saba’ ayat 13, kita dapat menemukan rekam jejak tentang instruksi Nabi Sulaiman kepada para jin untuk membuat istana Nabi Sulaiman, ada gedung, bangunan nan tinggi serta patung-patung. Dalam hal ini, patung diperbolehkan. Karena tidak ada tendensi perlakuan atas patung sebagai sesembahan.

Berbeda lagi dengan zaman Nabi Muhammad SAW, dengan kondisi kebudayaan kaum Quraisy yang mengenal wasilah dalam beribadah kepada Allah melalui Latta, Uzza dan kawan-kawannya (berhala-berhala). Nabi Muhammad dalam track record dakwahnya, membawa message (pesan) untuk mentauhidkan Allah dan persamaan derajat antar umat manusia. Dalam usaha mentauhidkan Allah, Nabi Muhammad berhadapan dengan berhala-berhala yang dijadikan oleh kaum quraisy sebagai sesembahan. Hingga pada akhirnya, saat fathul makkah (penaklukkan kota mekah), ka’bah berhasil dinetralisir (dibersihkan) dari berbagai macam berhala. Karena ada tendensi umat menjadikannya sebagai sesembahan (virus tauhid), pada zaman ini, berhala dilarang.

Kesimpulan yang didapat adalah, boleh atau tidaknya patung tergantung dengan maksud dibuat dan tujuan penggunaannya. Bila patung dijadikan sebagai tandingan Allah, maka hancurkan atau haram hukumnya. Namun, bila patung untuk kepentingan seni, misalnya sebagai monumen dan sebagainya, hukumnya adalah boleh-boleh saja.

Menentukan hukum atas sesuatu, tidaklah semudah membalikkan telapak kaki, bahkan lebih sulit. J Begitulah cara Muhammadiyah menentukan hukum atas sesuatu. Ayat-ayat Allah sangatlah luas, yuk mari belajar lebih dalam.

0 komentar:

Posting Komentar